Advertise here
13 Views

Tahun 2024 bukanlah tahun yang mudah bagi dunia startup Indonesia. Melanjutkan tren yang sudah terlihat sejak 2023, investor semakin selektif dalam memberikan pendanaan. Dampaknya, startup dituntut untuk berfokus pada profitabilitas dan efisiensi operasional. Tak hanya itu, transisi pemerintahan baru dan pelemahan daya beli kelas menengah semakin menambah kompleksitas bagi pelaku industri.

Dalam artikel ini, Tech in Asia berbicara dengan sejumlah founder startup untuk memahami perjalanan mereka sepanjang 2024. Mereka membagikan berbagai pengalaman berharga, mulai dari tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan, strategi yang membantu perusahaan bertahan dan tumbuh, hingga bagaimana dinamika tahun 2024 membentuk rencana perusahaan untuk menghadapi 2025.

CEO dan co-founder Torch Ben Wirawan

Pencapaian utama jenama direct-to-consumer (D2C) Torch pada 2024 adalah berhasil mengembangkan model online-to-offline (O2O). Awalnya, Torch hanya memiliki satu akun resmi di marketplace dengan gudang yang terpusat di Depok, Jawa Barat. Namun, perusahaan menyadari bahwa strategi ini menyulitkan perusahaan menjangkau konsumen di luar Jabodetabek karena terkendala logistik. Padahal, konsumen di luar Jabodetabek merupakan ceruk pasar yang besar.

Menurut co-founder dan Chief Executive Officer Torch Ben Wirawan, bentuk negara Indonesia yang berupa kepulauan membuat pengiriman barang relatif lambat dan mahal. Situasinya sama sekali berbeda dengan negara kontinental, seperti Amerika dan Cina, yang bisa mengandalkan transportasi darat saja.

Keadaan ini diperparah dengan pertumbuhan sektor e-commerce tanah air yang melambat karena investasi ke sektor ini tak lagi sederas dulu. Hal itu berpengaruh pada berkurangnya insentif bagi konsumen, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan konsumen baru.

Untuk memecahkan masalah tersebut, Torch mengembangkan model O2O dengan membuka 9 toko, termasuk Bandung, Makassar, dan Medan. Toko-toko tersebut berperan sebagai showroom sekaligus gudang. Bersamaan dengan langkah tersebut, perusahaan membuat sejumlah akun di berbagai platform e-commerce yang berfokus pada wilayah operasional masing-masing toko.

(Kiri ke kanan) Co-founder dan Chief Designer Torch Hanafi Salman; Co-founder dan Chief Executive Officer Torch Ben Wirawan | Sumber: Torch

Ben mengeklaim upaya ini sukses meningkatkan transaksi di luar Jabodetabek. Dengan model O2O, pengiriman ke wilayah di luar Jabodetabek jadi lebih singkat dan konsumen bisa punya opsi untuk membeli produk secara langsung di showroom.

“Pertumbuhannya sangat bagus di O2O ini, dan kita sesudah ini akan perbanyak iterasi itu,” ucap Ben kepada Tech in Asia pada Rabu (11/12/2024).

Penerapan model O2O ini pula yang akhirnya membuat Torch memutuskan mengakses investasi berbasis ekuitas. Pada Agustus 2024, perusahaan mengamankan modal dengan nilai tak diungkap dari Init 6.

Awalnya, perusahaan mengandalkan pembiayaan dari platform peer-to-peer (P2P) lending untuk membiayai operasionalnya. Namun, dengan beralih ke model O2O, perusahaan harus menghabiskan biaya modal yang tinggi untuk pembukaan toko fisik. Jika menggunakan produk P2P lending, Torch akan menanggung biaya bunga yang tinggi.

“Ketika kita paksakan pakai P2P lending, cost of fund-nya berat. Jadi mahal kan,” kata Ben.Pendanaan ekuitas dari venture capital dinilai Ben sebagai modal dengan biaya rendah atau bahkan nol. Dia menyatakan, dana tersebut akan digunakan perusahaan untuk memperbesar jangkauan, sehingga pendapatan Torch bisa naik dalam 1-2 tahun  ke depan.

CEO dan co-founder Gapai Radityo Susilo

Platform tenaga kerja migran Gapai berhasil memperoleh lisensi Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) pada 2024. Menurut co-founder dan Chief Executive Officer Gapai Radityo Susilo, ini menyebabkan perusahaan bisa menjalankan seluruh proses bisnisnya secara mandiri, tanpa perlu bergantung ke pihak ketiga. 

Pencapaian Gapai selanjutnya adalah berhasil memperluas jangkauan pasar ke luar negeri. Di Eropa Timur, khususnya Hungaria, Radityo mengeklaim perusahaan berpotensi menempatkan hingga 1.000 pekerja migran pada 2025 di negara tersebut. Di kawasan Timur Tengah, khususnya Uni Emirat Arab, Gapai telah membuka 300 posisi pekerjaan yang siap diisi dalam waktu dekat.

“Ini membuka keran untuk banyak calon pekerja migran di Indonesia untuk bisa berkembang,” ujar Radityo.

Chief Executive Officer Gapai Radityo Susilo | Sumber: Instagram

Meski berhasil memperluas jangkauannya secara internasional, Radityo mengakui bahwa proses akuisisi klien di pasar Eropa masih relatif panjang. Ini disebabkan beberapa faktor, seperti perbedaan budaya dan minimnya pengalaman perusahaan Eropa dalam merekrut pekerja Indonesia.

Untuk mengatasi hal ini, Radityo menyatakan pihaknya berupaya melakukan riset lebih mendalam terhadap perusahaan yang disasar. Gapai tidak hanya mencari tahu perusahaan apa yang harus disasar, tetapi juga berusaha mengenali siapa saja pembuat keputusan di perusahaan tersebut.

Pemahaman mendalam tentang perusahaan target  ini, lanjutnya, dibarengi juga dengan pemahaman yang lebih baik tentang profil calon pekerja migran. Untuk mencapai tujuan itu, Gapai berencana memanfaatkan data perilaku calon pekerja yang terkumpul di platform perusahaan pada tahun 2025 mendatang.

“Ini peran penting teknologi dan platform: untuk mengidentifikasi data structure, model, dan ujungnya ke persona, sehingga menciptakan matchmaking yang lebih cepat,” kata Radityo saat dihubungi Tech in Asia pada Jumat (13/12/2024).

CEO dan co-founder Dash Electric Aditya Brahmana

Ekspansi merupakan tonggak pencapaian startup logistik Dash Electric pada 2024. Perusahaan yang sepenuhnya menggunakan armada kendaraan listrik ini berhasil memperluas jangkauan layanan pengiriman last-mile-nya ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Namun, co-founder dan Chief Executive Officer Dash Electric Aditya Brahmana mengakui bahwa kesuksesan jangka panjang perusahaan tidak hanya bergantung pada ekspansi agresif, tetapi juga pada kemampuan perusahaan untuk mengelola operasi dengan cara yang lebih ramping. Strategi ini dia nilai menjadi semakin relevan di tengah tuntutan mencapai profitabilitas.

Untuk mengelola operasi secara ramping, Aditya melihat teknologi punya peran penting. Salah satu contohnya, Dash Electric merancang aplikasi pengemudi yang lebih dari sekadar alat navigasi. Aplikasi tersebut, lanjut Aditya, memiliki sistem yang mirip dengan aplikasi manajemen sumber daya manusia (human resource information system/HRIS). 

“(Aplikasi ini) memberikan keunggulan besar dalam mengelola pengemudi secara scalable dan ramping,” ujarnya.

Dash Electric
(Kiri ke kanan) Co-founder dan COO Dash Electric Robert Mulianto | Co-founder dan CEO Dash Electric Aditya Brahmana | Sumber: Dash Electric

Pendekatan pengelolaan bisnis secara ramping dan pemanfaatan teknologi ini, menurut Aditya, membuat perusahaan berhasil tumbuh tanpa harus mengandalkan insentif yang besar.

Pencapaian lainnya yang diraih Dash Electric pada tahun 2024 adalah bermitra dengan beberapa perusahaan besar. Salah satunya, Dash Electric menyediakan solusi pengiriman last-mile untuk JNE. Kemudian, perusahaan juga bermitra dengan DHL untuk menyediakan armada kendaraan listrik beserta solusi manajemen armadanya.

Pada 2025 nanti, Aditya menyatakan pihaknya akan terus membangun jaringan cross-dock, atau sistem distribusi barang yang memungkinkan barang dari titik pengumpulan langsung dipindahkan ke kendaraan pengantar. Dengan cara ini, proses pengiriman bisa jadi lebih cepat karena barang tidak perlu disimpan lama di gudang.

CEO dan co-founder BroilerX Prastyo Ruandhito

Pelaku industri agrikultur, terutama industri unggas, kerap kali dihadapkan dengan tantangan berupa fluktuasi harga yang ekstrem dan kekurangan pasokan Day Old Chick atau DOC (anak ayam berumur satu hari yang menjadi bibit ayam potong).

Sepanjang 2024, startup agritech BroilerX berusaha mengatasi hambatan ini dengan mengamankan pasokan parent stock (ayam yang diternakkan untuk menghasilkan ayam komersil) dan DOC.

Menurut co-founder dan Chief Executive Officer BroilerX Prastyo Ruandhito, penguatan di sektor hulu ini membuat pihaknya tidak perlu lagi mengandalkan pemasok eksternal. Pada gilirannya, perusahaan bisa terhindar dari risiko terkait fluktuasi harga ekstrem dan kualitas yang tidak konsisten.

“Pencapaian terbesar BroilerX pada 2024 adalah bisa mandiri dalam proses produksi,” kata Prastyo.

Co-founder dan CEO BroilerX Prastyo Ruandhito | Sumber: LinkedIn

Tak hanya penguatan di sektor hulu, proses di sektor tengah juga menjadi perhatian BroilerX, khususnya manajemen penggemukan ayam broiler. Menurut Prastyo, proses ini sangat penting karena secara langsung memengaruhi kualitas karkas dan efisiensi produk turunan.

Pencapaian lainnya dari perusahaan, menurut Prastyo, adalah penguatan ekosistem kemitraan lewat diversifikasi model bisnis, seperti integrasi perdagangan, sistem manajemen peternakan, dan pengolahan produk. Selain memperluas cakupan bisnis perusahaan, diversifikasi ini berpotensi menciptakan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi operasional.

Kemudian, BroilerX juga berhasil meraup pendanaan pra-Seri A sebesar US$1,5 juta pada Januari 2024 silam. Investor yang terlibat dalam pendanaan ini termasuk Kopital Ventures dan Insignia Ventures Partners.

Terkait ketersediaan dukungan ekosistem startup di Indonesia untuk agritech, Prastyo melihat perkembangan positif dengan adanya program inkubasi dan pendanaan. Namun, dirinya melihat masih ada ruang untuk memperkuat kolaborasi, misalnya saja dengan koperasi yang sedang didigitalisasi.

CEO dan founder Nusantics Revata Utama

Pada pertengahan 2023, startup biotech Nusantics mengalami periode sulit, bahkan berada di ambang kebangkrutan. Menurut founder dan Chief Executive Officer Nusantics Revata Utama, ini lantaran permasalahan yang ditinggalkan oleh mantan co-founder

“Saat itu, kami menghadapi tantangan besar dengan jumlah cash in hand yang sangat minim, sementara utang mencapai hampir enam kali lipat dari cash in hand,” ucap Revata.

Untuk keluar dari krisis tersebut, Revata mengaku efisiensi menjadi tema besar perusahaan sejak pertengahan 2024 hingga sepanjang 2024. Perusahaan melakukan restrukturisasi organisasi dan menghilangkan proses-proses yang tidak perlu. Revata mengeklaim, upaya ini berhasil membuat beban operasional pada 2024 turun signifikan meski dia tak merinci angkanya.

CEO Nusantics Revata Utama | Sumber: Nusantics
CEO Nusantics Revata Utama | Sumber: Nusantics

Pada akhir Q4/2024, perusahaan juga mengaku berhasil membuat pendapatannya naik dua kali lipat dibandingkan Q2/2023, ketika perusahaan terancam bangkrut. Revata menyatakan, pertumbuhan tersebut didongkrak oleh pertambahan jumlah pelanggan dan peningkatan efisiensi operasional. 

Kolaborasi dengan berbagai mitra besar juga disebut berdampak positif pada pertumbuhan perusahaan. Di sektor kesehatan manusia, Nusantics bermitra dengan Bio Farma, Paragon, Diagnos, dan lain-lain. Kemudian, mitra Nusantics di sektor kesehatan hewan termasuk SHB, CP Prima, dan Japfa.

Ekosistem startup di Indonesia, menurut Revata, telah berkembang cukup pesat, baik dari segi opsi pembiayaan maupun infrastruktur teknis seperti layanan dari penyedia cloud. Namun, dia menyatakan sebagian besar produk farmasi dan alat kesehatan kesehatan di tanah air masih didominasi produk generik dengan paten kedaluwarsa yang bisa diproduksi pihak mana pun. Selain itu, Indonesia juga dibanjiri produk yang menggunakan hak kekayaan intelektual (IP) dari luar negeri, misalnya Cina, yang diproduksi di Indonesia.

Revata berharap pemerintah lebih serius dalam mendukung regulasi yang memprioritaskan pengembangan dan produksi produk dengan IP asli Indonesia.

“Kebijakan semacam ini akan menjadi pendorong penting bagi pertumbuhan startup bioteknologi yang memiliki IP asli Indonesia,” ujarnya.


Baca juga artikel lain seputar insight industri di sini

(Diedit oleh Yustinus Andri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights